Lanjut Om tante ???? baiklah dilanjut....
Setelah kemerdekaan Indonesia, Mangkunegara
VIII
(penguasa pada waktu itu) menyatakan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada September 1946.
Setelah terjadi revolusi sosial di Surakarta (1945-1946),
Mangkunegaran kehilangan kedaulatannya sebagai satuan politik. Walaupun
demikian Pura
Mangkunegaran
dan Mangkunegara masih tetap menjalankan fungsinya sebagai penjaga budaya.
Setelah Mangkunegara
VIII
mangkat ia digantikan oleh putra ke duanya yang bergelar Mangkunegara IX.
Para
penguasa Mangkunegaran tidak berhak dimakamkan di Astana Imogiri melainkan di Astana Mangadeg dan
Astana Girilayu,
yang terletak di lereng Gunung Lawu. Perkecualian adalah lokasi makam Mangkunegara VI, yang dimakamkan di
tempat tersendiri.Warna resmi bendera Mangkunagaran adalah hijau dan kuning emas serta dijuluki pareanom (pare muda), yang dapat dilihat pada lambang, bendera, pataka, serta samir yang dikenakan abdi dalem atau kerabat istana.
Administrasi pemerintah
Pada awal pendiriannya, struktur
pemerintahan masih sederhana, mengingat lahan yang dikuasai berstatus
"tanah lungguh" (apanage)
dari Kasunanan Surakarta. Ada dua jabatan Pepatih Dalem, masing-masing
bertanggung jawab untuk urusan istana dan pemerintahan wilayah. Selain itu, Mangkunagara I sebagai Adipati Anom
membawahi sejumlah Tumenggung (komandan satuan prajurit).
Pada masa pemerintahan
Mangkunegara II,
situasi politik berubah. Status kepemilikan tanah beralih dari tanah lungguh
menjadi tanah vazal yang bersifat
diwariskan turun-temurun. Hal ini memungkinkan otonomi yang lebih tinggi dalam
pengelolaan wilayah. Perluasan wilayah juga terjadi sebanyak 1500 karya. Perubahan ini membuat
diubahnya struktur jabatan langsung di bawah Adipati Anom dari dua menjadi
tiga, dengan sebutan masing-masing adalah Patih Jero (Menteri utama urusan
domestik istana), Patih Jaba (Menteri Utama urusan wilayah), dan Kapiten Ajudan
(Menteri urusan kemiliteran).
Semenjak
pemerintah Mangkunegara III, struktur pemerintahan menjadi tetap
dan relatif lebih kompleks. Raja (Adipati Anom) semakin mandiri dalam hubungan
dengan Kasunanan. Wilayah praja dibagi menjadi tiga Kabupaten Anom
(Karanganyar, Wonogiri, dan Malangjiwan) yang masing-masing dipimpin oleh seorang
Wedana Gunung. Ketiga Wedana Gunung merupakan bawahan seorang Patih. Patih
bertanggung jawab kepada Adipati Anom. Di bawah setiap Kabupaten Anom terdapat
sejumlah Panewuh.Penyatuan administrasi bulan Agustus 1873 membuat pemerintahan otonom Mangkunegaran harus terintegrasi dengan pemerintahan residensial dari pemerintah Hindia Belanda. Wilayah Mangkunegaran dibagi menjadi empat Kabupaten Anom (Kota Mangkunegaran, Karanganyar, Wonogiri, dan Baturetno) yang masing-masing membawahi desa/kampung.
- Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunegara I (1757-1795)
- Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara II (1796-1835)
- Mangkunegara III (1835-1853)
- Mangkunegara IV (1853-1881)
- Mangkunegara V (1881-1896)
- Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VI (1896-1916)
- Mangkunegara VII (1916-1944)
- Mangkunegara VIII (1944-1987)
- Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IX (1987-sekarang)
Lokasi Mangkunegaran
Istana Mangkunegaran
berlokasi di Kota Surakarta di jalan Ronggowarsito dan bangunan menghadap ke
Selatan. Sebagai keraton yang terbuka dengan ide-ide baru perjumpaan kebudayaan
Jawa dengan Eropa dicermati dengan saksama dan diakulturasikan menjadi budaya Jawa.
Akulturasi ini
diinkulturasi sampai unsur dan elemen Eropa menjadi semakin Jawa.
Bangunan istana
Istana Mangkunegaran berdiri sejak tahun 1757 dan pada waktu awal mula berdiri
komplek istana belum dilengkapi dengan Pendapa. Bangunan Pendapa dengan atap Joglo baru
dibangun pada masa pemerintahan Mangkunegara
IV yakni tahun 1866. Surakarta yang kental dengan
kebiasaan-kebiasaan Jawa mengadopsi gaya
Eropa menjadi gaya Jawa tampil dalam hal
pembangunan fisik.
Bangunan Jawa secara prinsipial tidak mengenal adanya teras atau elemen
serambi karena elemen ini merupakan kekhasan dari villa-villa di Eropa. Bangunan Jawa yang tanpa mengenal serambi ini dipadukan dengan elemen Eropa secara visual dan fungsional menghadirkan keindahan dan
kegunaan terwariskan secara tradisi kegenerasi berikutnya. Aliran klasik dan
neoklasik Eropa berpadu dengan semangat neoklasik Jawa menghadirkan pengolahan tata ruang yang secara simbolik
menampilkan citra dan kegunaan aktivitas beserta ornamen dan pahatan sebagai
simbolik.
Dari visualisasi
bangunan, Istana Mangkunegaran mengambil corak Eropa dalam Empire Style dalam
perpaduan Jawa yang menghadirkan kemaharajaan dengan keagungan dan
kewibawaannya. Perpaduan antara Arsitektur
Jawa dan Arsitektur Eropa terserap di Mangkunegaran yang memang terbuka untuk inovasi
dan ide-ide yang baru.
Sistem denah
menghadirkan suatu pola tatanan ruang yang tertutup dan bersifat linear. Pada
kondisi struktur bangunan tampak bahwa antara atap dan dinding merupakan satu kesatuan
utuh struktur dengan kata lain sistem struktur bangunan Istana menggunakan
sistem strutur dinding pemikul. Penggunaan kolom-kolom bulat yang terbuat dari
besi tuang (cor) dengan konsol-konsol besi semakin metampakan perpaduan Jawa dengan neoklasik Eropa dalam penampilannya.
Ciri utama peningalan
Eropa di Jawa dalam soal bangunan juga terdapat pada keluasan
bidang bukaan jendela dan pintu serta skala ruang yang luas dan tinggi. Aspek
keluasan ini pada intinya adalah pengolahan aspek kenyamanan penghuni dalam
aktivitasnya sehari hari yang hadir di bumi beriklim tropis.
Istirahat
sebentar om tante ....
Belum ada tanggapan untuk "ISTANA PURA MANGKUNEGARAN 2"
Posting Komentar